BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Latar Belakang
Setiap bahan pangan umumnya mempunyai suhu optimum
untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu penyimpanan yang
lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat metabolisme dan mempercepat
terjadinya proses pembusukan. Suhu rendah di bawah (-18°C) efektif dalam
mengurangi laju metabolism. Hal ini disebabkan karena suhu rendah dapat
memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain
itu juga dapat mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air
dari bahan pangan. Setelah suhu beku ini tercapai, maka air yang ada didalam
makanan akan berubah menjadi kristal es. Perubahan air dari bentuk cair menjadi
padat (kristal es) selama proses pembekuan menyebabkan komponen pangan yang
terlarut di dalam fase air (air yang belum membeku) akan meningkat. Akibatnya,
suhu pembekuan akan terus menurun. Proses pembekuan air akan terus berlangsung
sampai sebagian besar air berubah menjadi es (kristalisasi).
Proses pembekuan air akan berhenti
ketika padatan terlarut di dalam sedikit fase air yang tersisa menjadi lewat
jenuh dan kemudian juga mengalami kristalisasi. Selanjutnya, suhu dari makanan
yang dibekukan akan turun mendekati suhu media pembekuannya. Selama proses
pembekuan, air akan mengembang dan kristal es yang terbentuk akan menyebabkan
dinding sel menjadi rusak. Akibatnya, ketika produk dithawing (dilelehkan
kembali), teksturnya menjadi lebih lunak dibandingkan dengan tekstur awal
(sebelum dibekukan). Hal ini terutama akan menjadi masalah jika makanan akan
dimakan dalam kondisi mentah, contohnya buah-buahan dan/atau sayur yang akan
dimakan mentah (lalap).
Karena alasan inilah, biasanya buah
beku jika akan dikonsumsi mentah disajikan sebelum mereka mengalami thawing
sempurna. Perubahan tekstur akibat proses pembekuan biasanya tidak menjadi
masalah untuk produk yang disimpan beku dalam kondisi sudah dimasak, atau pada
bahan pangan yang akan dimasak sebelum dikonsumsi karena proses pemasakan
sendiri juga menyebabkan pelunakan dinding sel.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Pengawetan?
2.
Apa
yang mendasari Pengawetan Dengan Suhu Rendah?
3.
Bagaimana Cara Pengawetan Dengan
Suhu Rendah?
4.
Apa
Prinsip pengawetan
pangan?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui Pengertian Pengawetan
2.
Untuk mengetahui Dasar Pengawetan
Dengan Suhu Rendah
3.
Untuk mengetahui Bagaimana Cara Pengawetan Dengan
Suhu Rendah
4.
Untuk
mengetahui Prinsip
pengawetan pangan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pengawetan
Pengawetan adalah cara yang
digunakan untuk membuat bahan pangan memiliki daya simpan yang lama dan
mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan. Dalam pengawetan bahan pangan harus
diperhatikan jenis bahan pangan yang diawetkan, keadaan bahan pangan, cara pengawetan. Prinsip pengawetan pangan ada tiga, yaitu:
1.
Mencegah
atau memperlambat kerusakan mikrobial;
2.
Mencegah
atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan; dan
3.
Mencegah
kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama.
Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial dapat dilakukan dengan cara: mencegah
masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis); mengeluarkan mikroorganisme,
misalnya dengan proses filtrasi; menghambat pertumbuhan dan aktivitas
mikroorganisme, misalnya dengan penggunaan suhu rendah, pengeringan, penggu naan kondisi anaerobik atau
penggunaan pengawet kimia; membunuh
mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi atau radiasi.
2.2 Dasar Pengawetan Dengan Suhu Rendah
Setiap
jaringan-jaringan hidup seperti bahan hasil pertanian mempunyai suhu optimum
untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Pada kondisi suhu yang
lebih tinggi atau rendah dari suhu optimum, proses metabolisme akan berjalan
lebih lambat, atau malahan dapat berhenti sama sekali pada suhu yang terlalu
tinggi atau rendah. Pada umumnya proses metabolisme berlangsung terus setelah
bahan hasil pertanian dipanen, sampai bahan menjadi mati dan akhirnya membusuk.
Pengaturan suhu memiliki peran yang sangat penting dalam pengawetan bahan
pangan. Baik suhu rendah maupun suhu tinggi sangat berperan dalam
mempertahankan mutu bahan. Pada suhu yang lebih rendah kerusakan bahan pangan
dapat ditekan kenilai yang minimum.
Secara umum dapat disebutkan bahwa setiap penurunan suhu 10oC (18oF) akan mengurangi
laju reaksi kerusakan bahan pangan setengah kalinya atau laju metabolisme akan
berkurang setengahnya. Sebaliknya, laju reaksi ini dalam batasan kisaran suhu
fisiologis meningkat meningkat secara eksponensial dengan peningkatan suhu.
Van’t Hoff seorang ahli kimia Belanda menjelaskan bahwa, laju reaksi kimia
kurang lebih dua kali untuk setiap kenakan suhu 10oC (18oF).
Fenomena hubungan antara laju proses metabolisme dengan suhu
inilah yang menjadi dasar pengawetan bahan pangan dengan penggunaan suhu
rendah. Penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa
hidup jaringan-jaringan di dalam bahan pangan tersebut.
Hal ini
bukan hanya keaktifan proses metabolisme menurun, tetapi juga karena
pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan dapat diperlambat. Selain itu laju
reaksi-reaksi kimia dan enzimatis juga diperlambat pada suhu rendah.
Semakin rendah suhu semakin lambat proses tersebut.
2.3 Cara Pengawetan dengan Suhu
Rendah
Cara pengawetan bahan pangan dengan penggunaan suhu rendah
dibedakan menjadi dua, yaitu pendinginan (cooling) dan pembekuan (freezing).
Secara terminologis dapat diterima bahwa pendinginan diartikan sebagai
penggunaan suhu diatas titik beku bahan atau mengacu kepada pendinginan yang
tidak mencapai titi beku bahan, dengan maksud untuk mempertahankan sifat-sifat
bahan semula, sedangkan pembekuan diartikan sebagai penggunaan suhu
dibawah titik beku bahan sehingga menyebabkan proses perubahan dari fase cair
menjadi fase padat. Dalam praktek pengawetan bahan pangan dengan penggunaan suhu
rendah banyak digunakan istilah-istilah sebagai berikut :
a. Pendinginan ringan (cooling),
jika digunakan suhu diantara 6-15oC atau dibawah suhu kamar.
b. Pendinginan sedang (chilling),
jika digunakan suhu anatar 0-6oC, yang seiring disebut dengan
refrigerasi.
c. Pendinginan berat (deep
chilling), jika digunakan suhu antara titik beku bahan sampai 0oC.
d. Pembekuan (freezing),
jika digunakan suhu dibawah titik beku bahan.
e. Pembekuan berat (deep
refrigeration), jika digunakan suhu yang sangat rendah, misalnya
pendinginan dengan nitrogen cair dan carbondioksida cair, yang disebut pula
dengan teknik kriogenik (cryogenic).
Pengawetan bahan pangan dengan cara pendinginan
dan pembekuan masing-masing akan memberikan pengaruh yang berbeda baik terhadap
rasa, tekstur, nilai gizi dan sifat-sifat lain dari bahan, ataupun terhadap
keaktifan mikroorganismedi dalam bahan pangan. Beberapa bahan pangan menjadi
rusak pada suhu penyimpanan yang terlalu rendah.
Begitu juga penggunaan suhu rendah dalam
pengawetan bahan pangan tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika bahan
pangan beku misalnya dikeluarkan dari penyimpanan dan dibiarkan mencair kembali
(thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan cepat kembali.
Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan
adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keawetan bahan pangan. Pendinginan
biasanya dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu
tergantung pada macam bahan pangannya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan
bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang-kadang beberapa tahun.
a. Pendinginan
Alat pendingin yang pertama digunakan manusia adalah gua-gua alam,
terutama di daerah vulkanik dengan cuaca dingin dan kering. Dari sini manusia
mempelajari bahwa bila dia menggali lubang di dalam tanah, mereka dapat
menyimpan makanannya untuk jangka waktu yang cukup lama.
Penggunaan es sebagai pendingin dimulai tahun
1800. Segera didapatkan bahwa bahwa pangan yang di simpan di udara dingin sama
saja halnya bila di simpan dalam es. Pada akhir abad ke-18, penyimpanan bahan
pangan dalam refrigerator atau lemari pendingin mulai dikembangkan. Pendinginan
adalah penyimpanan bahan pangan diatas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai +10oC.
Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es adalah pada suhu
5-8oC.
Bahwasanya pendinginan merupakan proses
pembuangan kalor dari suatu bahan sehingga suhunya turun dan dijaga tetap pada
suatu tingkat. Kalor adalah suatu bentuk energi dari berbagai benda. Dingin
dapat menyatakan suatu keadaan pada tingkat kalor yang relative rendah. Bahan
yang didinginkan pada penyimpanan sesungguhnya mengalami pembekuan kalor dan
bukan “dingin” yang dipompakan kedalam air dan kemudian air menjadi dingin,
maka proses yang terjadi sesungguhnya adalah penyerapan kalor dari air oleh es.
Bahan pangan dapat didinginkan dengan beberapa
metode pendinginan, yaitu menggunakan: udara dingin (pendinginan ruang dan
pendinginan dengan hembusan udara), air dingin (hydrocooling), kontak langsung
dengan es, dan penguapan air dari bahan (pendinginan evaporatif dan pendinginan
vakum). Kemungkinan cara pendinginan paling umum adalah pendinginan ruang
dimana bahan segar dalam kotak, peti atau kemasan lain diperlakukan dengan
udara dingin dalam gudang dingin normal. Laju pendinginan dengan udara dingin
dapat dengan nyata ditingkatkan bila permukaan transfer panen diperbesar dari
luas kemasan sampai permukaan total bahan segar. Dengan menekan udara melalui
kemasan dan sekeliling masing-masing bahan segar, pendinginan dengan udara
bertekan dapat mendinginkan bahan tersebut dalam kurang lebih 1/4-1/10-nya lama
waktu yang dibutuhkan untuk pendinginan ruang.
Dalam pendinginan hidro, air berperanan sebagai
medium transfer panas merupakan metode yang cepat untuk bahan segar
karena air mempunyai kapasitas panas yang lebih besar dari pada udara.
Pendinginan hidro berlangsung cepat apabila air kontak dengan sebagian besar
permukaan bahan segar dan diatur suhunya sedekat mungkin dengan 0oC.
Pendinginan dengan kontak es digunakan secara
luas untuk pendinginan pendahuluan bahan segar, mempertahankan suhu selama
transit, terutama untuk komoditi yang lebih mudah mudah rusak seperti sayuran
berupa daun. Sayuran yang mempunyai rasio luas permukaan dan volume tinggi
dapat dengan cepat dan seragam didinginkan dengan mendidihkan sebagian airnya
pada tekanan rendah. Cara ini disebut pendinginan vakum dan secepat pendinginan
hidro. Sedangkan pendinginan dengan penguapan merupakan proses yang sederhana
dimana udara kering didinginkan dengan meniupkannya melalui permukaan yang
basah.
Didalam pendinginan, perlu diperhatikan mengenai
mutu bahan yang akan didinginkan, suhu ruang pendingin, kelembaban udara di
dalam ruang pendingin, dan sirkulasi udara serta jarak tumpukan di dalam ruang
pendingin.
Penyimpanan dingin mempunyai pengaruh terhadap
bahan yang didinginkan seperti terjadi kehilangan berat, keruasakan dingin,
kegagalan untuk matang dan kebusukan. Kehilangan berat buah-buahan selama di
simpan terutama disebabkan oleh kehilangan air, akibat air dalam jaringan bahan
menguap atau terjadinya transpirasi. Kehilangan air yang tinggi akan
menyebabkan terjadinya pelayuan dan pengeriputan bahan sehingga dapat
menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan. Kondisi seperti ini dapat dicegah
dengan cara mengurangi transpirasi, yakni menaikkan kelembaban nisbi udara,
menurunkan suhu, mengurangi gerakan udara, dan dengan menggunakan kemasan.
Pada suhu yang rendah (0-10oC), buah-buahan dapat
mengalami kerusakan karena tidak dapat melakukan proses metabolisme secara
normal. Kondisi ini terlihat ketika bahan dikeluarkan dari ruang penyimpanan,
seperti adanya lekukan, cacat, bercak-bercak kecoklatan pada permukaan,
penyimpangan warna di dalam, atau gagal matang pada beberapa komoditi karena
penyimpanan begitu lama. Mekanisme terjadi kerusakan dingin antara lain:
a) terjadinya respirasi
abnormal,
b) perubahan lemak dan asam
lemak dalam dinding sel,
c) perubahan permeabilitas
membrane sel,
d) perubahan dalam reaksi kinetic
dan thermodinamika,
e) ketimpangan distribusi
senyawa kimia dalam jaringan, dan
f) terjadinya penimbunan
metabolit beracun.
Disamping
itu sering terjadi kondensasi pada komoditi yang bertekstur lunak seperti
buah-buahan pada saat dikeluarkan dari ruang penyimpanan dingin. Kondensasi ini
terjadi pada permukaan bahan. Air yang berkondensasi ini terjadi harus
dikurangi karena dapat merangsang kebusukan. Namun tidak semua bahan dapat
menjadi busuk akibat
b. Pembekuan
Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku. Sama
halnya pada penyimpanan dingin, pada proses inipun terjadi penghambatan yang
jauh lebih efektif terhadap aktivitas metabolisme dan pertumbuhan mikroba serta
laju reaksi-reaksi kimia dan enzimatis.
Berdasarkan atas lamanya waktu yang diperlukan untuk melewati
daerah kritis pembekuan (thermal arrest time) terbentuknya
kristal-kristal es yang berukuran kecil (pada suhu diantara 0oC dan
-5oC), proses pembekuan dapat digolongkan dalam 2 macam yaitu
pembekuan cepat dan pembekuan lambat.
Meskipun demikian batas waktu limit yang digunakan untuk
membedakan antara metoda pembekuan cepat dengan metoda lambat tidak dapat
jelas. Sebagai contoh, Inggris menentukan batas waktu untuk melewati daerah
kritis sebagai pembekuan cepat adalah tidak lebih dari pada 122 menit, Jepang
memberikan criteria kurang dari 30 menit dan Amerika Serikat menggunakan waktu
antara 70-100 menit.
Dalam prakteknya, proses pembekuan yang baik biasanya dilakukan
pada suhu -12oC sampai -24oC. Pembekuan cepat (quick
freezing) dilakukan pada suhu -24oC sampai -40oC
dalam waktu kurang lebih dari ½ jam. Sedangkan pembekuan lambat biasanya
berlangsung selama 30-72 jam.
Pembekuan cepat mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan
cara lambat karena kristal es yang terbentuk kecil-kecil sehingga kerusakan mekanis
lebih sedikit terjadi, faktor pemadatan air cepat, pencegahan pertumbuhan
mikroba juga cepat terjadi dan kegiatan enzim juga cepat terhenti. Bahan
makanan yang dibekukan dengan cara cepat mempunyai mutu lebih baik dari pada
yang dibekukan lambat.
2.4
Prinsip Pengawetan Pangan
Prinsip pengawetan pangan ada tiga, yaitu :
- Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan
- Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama
- Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial. Bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet juga diharapkan dapat mengganggu kondisi optimal pertumbuhan mikroba. Ditinjau secara kimiawi, pertumbuhan mikroba yang paling rawan adalah keseimbangan elektrolit pada sistem metabolismenya. Karena itu bahan kimia yang digunakan untuk antimikroba yang efektif biasanya digunakan asam-asam organik
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyimpanan pada suhu
rendah dapat menghambat kerusakan makanan, antara lain kerusakan fisiologis,
kerusakan enzimatis maupun kerusakan mikrobiologis. Pada pengawetan dengan suhu
rendah dibedakan antara pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan
salah satu cara pengawetan yang tertua.Pendinginan atau
refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di
atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara - 1oC sampai
+ 4oC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan
terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa
hari atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan
yang biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang
mempunyai suhu –2oC sampai + 16oC.
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku
bahan, jadi bahan disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat
dilakukan pada suhu kira-kira –17 oC atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini
pertumbuhan bakteri sama sekali berhenti. Pembekuan yang baik biasanya
dilakukan pada suhu antara - 12 oC sampai – 24 oC. Dengan pembekuan, bahan akan
tahan sampai bebarapa bulan, bahkan kadang-kadang beberapa tahun.
3.2 Saran
Semoga dengan adanya makalah ini bisa memberikan pengetahuan
pembaca tentang tentang penyimpanan pangan dengan suhu
rendah dapat menghambat kerusakan bahan pangan, dan dalam
pengawetan dengan suhu rendah sebaiknya dipilih bahan pangan yang memang harus
diawetkan dengan suhu yang rendah agar tidak merusak kandungan fisik serta
kimia dari bahan pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi,
Supli. 2009. TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN PANGAN.
Bandung
: ALFABETA
Hari, S. 2003. Efek
Suhu pada Penyimpanan Produk Pangan. Bogor: ITB
Pestariati, Wasito,
Eddy Bagus, Handijatno, Didik. 2003. Pengaruh lama penyimpanan
daging ayam pada suhu refrigerator
terhadap jumlah total kuman, salmonella sp. Kadar protein dan derajat keasaman.
Jurnal biosains pascasarjana. Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya.
mp4nda.wordpress.com/2012/08/21/cara-pengawetan-dengan-suhu-rendah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar