Rabu, 22 November 2017

teknologi dalam pengolahan ikan & daging



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Daging adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Daging merupakan bahan makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya yang tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino essensial yang lengkap dan seimbang (Lawrie, 1995). Karena kandungan gizi yang cukup kompleks, maka daging merupakan sumber makanan bagi bakteri, dimana bakteri pada daging dapat mengakibatkan perubahan fisik dan kimia yang tidak diinginkan, sehingga daging tidak dapat disimpan lebih lama. Dalam hal ini untuk meningkatkan nilai manfaatnya, daging dapat dimasak, digoreng, dipanggang, disate, diasap, atau diolah menjadi produk lain yang menarik antara lain kornet, sosis, dendeng dan abon.
Ikan adalah salah satu hasil komoditi yang sangat potensial, karena keberadaannya sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, suku, dan agama (Anonim, 2001). Tubuh ikan mengandung protein dan air yang cukup tinggi serta mempunyai pH tubuh yang mendekati netral sehingga bisa dijadikan medium yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, karena kondisi yang demikian ikan termasuk komoditi yang mudah rusak (Rahardi et al., 1995).
Daging dan ikan adalah bahan pangan yang sudah umum dimasyarakat dan telah menjadi hal yang tidak asing lagi. Akan tetapi, sering kali terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan pada daging dan ikan, dikarenakan daging dan ikan yang mudah mengalami kerusakan jika tidak ada penanganan yang sempurna. Oleh karena itu, dilakukan praktikum ini adalah untuk mengamati daging dan ikan segar dengan melakukan pengamatan daging segar dan kurang segar maupun ikan segar dan kurang segar, pengamatan marbling pada daging, uji pH, warna, tekstur, cooking loss dan drip loss, serta pengamatan beberapa jenis daging. Diperlukan pengamatan-pengamatan tersebut agar kita tahu daging da ikan yang baik untuk diolah dan yang tidak pantas untuk diolah.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teknologi pengolahan ikan ?
2.      Bagaimana teknologi pengolahan daging ?

1.3 Tujuan
1.      Untuk mengetahui teknologi dalam pengolahan ikan.
2.      Untuk mengetahui teknologi dalam pengolahan daging.























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teknologi Pengolahan Ikan
Berdasarkan karakteristik atau sifat dasar teknologi pengolahan hasil perikanan dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut :
1.      Fisikawi, pengolahan yang memanfaatkan sifat fisik seperti sinar matahari, suhu (suhu rendah maupun suhu tinggi), cahaya atau sinar (iradiasi), Modified Atmosphere Packaging (MAP).
2.      Kimiawi, pengolahan yang memanfaatkan bahan kimia alami seperti garam, gula, pengasapan, serta bumbu-bumbu alami maupun bahan tambahan pangan.
3.      Biologi, memanfaatkan organisme maupun produk metabolisme organisme contohnya fermentasi.
4.      Kombinasi dari beberapa proses tersebut diatas maupun ketiganya sekaligus.

Masing-masing jenis pengolahan menghasilkan produk dengan karakteristik yang berbeda-beda baik dari segi sensoris maupun nilai nutrisinya. Setiap pengolahan tentunya mempunyai nilai positif serta negatif sehingga kedua hal tersebut tentunya perlu diketahui oleh pengolah agar manfaat dan nutrisi produk perikanan dapat dioptimalkan. Untuk itu, adanya pengetahuan tentang pengolahan hasil perikanan perlu diketahui oleh pihak yang berkecimpung di bidang ini.
1.      Fisikawi
Pengolahan hasil perikanan memanfaatkan sifat-sifat fisikawi terutama penggunaan suhu merupakan prinsip dasar dalam bidang pengolahan hasil perikanan. Penggunaan suhu dikenal dengan suhu rendah (chilling dan freezing) dan suhu tinggi yang meliputi (boiling, pasteurisasi, dan sterilisasi). Berikut masing-masing pnejelasan proses tersebut.
A.     Chilling
Chiling atau dalam bahasa umumnya adalah pendinginan merupakan proses pengolahan ikan yang sangat sederhana dan sering digunakan, pendinginan berprinsip menurunkan suhu serendah mungkin yang dilakukan dengan cepat. Pendinginan hanya mampu memperlambat proses pembusukan oleh bakteri maupun aktifitas enzim pembusuk. Suhu pendinginan berkisar antara (0 – 40C) dan patokan suhu ini yang dijadikan pembeda antara proses pendinginan dengan freezing atau lebih dikenal dengan pembekuan. Media pendingin dapat berupa gas, cairan maupun padatan contohnya es, es lebih sering digunakan. Es sebagai media pendingin dapat berbentuk balok maupun curai dan dapat dibuat dari air tawar yang didinginkan, air laut yang didinginkan, dan air larutan garam yang didinginkan. Pendinginan dengan es dapat digunakan secara langsung untuk mengawetkan ikan dengan susunan (es, ikan, es, ikan dst) maupun ditambahkan dengan air (es, air, dan ikan). Kebutuhan es sebagai media pendingin ikan adalah 1 : 1 (1 kg ikan  : 1 kg es).
B.     Freezing
Freezing atau yang sering dikenal pembekuan adalah proses dimana suatu produk diturunkan suhunya hingga dibawah titik beku dan sebagian dari air yang terkandung didalamnya telah menjadi kristal es (Fellows, 1990). Dari pengertian tersebut penggunaan suhu lebih rendah dari -20C bahkan sampai -300C atau lebih rendah lagi digunakan dalam proses pembekuan. Titik beku air yang terkandung dalam tubuh ikan adalah 00C sehingga kondisi diluar tubuh ikan untuk mencapai titik beku tersebut haruslah lebih rendah dari 00C. Perbedaan penggunaan suhu inilah yang menjadikan pembeda antara proses pendinginan dan pembekuan. Hal penting yang perlu diperhatikan apabila akan membekukan ikan adalah :
1.      Karakteristik ikan atau bahan baku (hal ini meliputi sifat biologis, karakteristik kimiawi ikan, bentuk dan ukuran ikan, ketebalan produk, cara penanganan ikan, cara kematian ikan dan lain sebagainya).
2.      Penguasaan sistem dan proses pembekuan meliputi faktor penentu laju dan waktu pembekuan, metode pindah panas dan termodinamika produk, sirkulasi, kecepatan dan distribusi medium pembeku.
3.      Penguasaan peralatan dan mesin pembekuan meliputi jenis dan kapasitas mesin pembeku serta metode pengoperasiaannya.
4.      Biaya produksi untuk melakukan proses pembekuan.
Pemanfaatan dengan suhu rendah selain memberikan efek positif juga dapat memberikan efek negatif, efek negatif yang dapat ditimbulkan dari proses pemanfaatan suhu rendah adalah :
Denaturasi dan agregasi protein akibat aktifitas enzim, tingkat ekstrakbilitasnya berkurang, menurunnya daya ikat air (Water Holding Capacity) daging ikan dan pada akhirnya menyebabkan perubahan tekstur dan sensori daging yang tidak diinginkan. Ikan salmon asap yang disimpan pada suhu 40C(RFS), fillet salmon yang belum diasap disimpan pada suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu 40C (BFS), dan fillet salmon yang sebelumnya disimpan pada suhu suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu -180C selama 24 jam sebelum dianalisis (AFS), semua sampel dianalisis pada hari ke – 2, 9, 16, 23, 30, 37 dan 45 hari. Hasil analisa menunjukkan bahwa perlakuan RFS dan BFS menghasilkan efek negatif pada adhesiveness dan cohesiveness (karakteristik tekstur), intensitas aroma asap, aroma amina, dan intensitas warna daging. Sedangkan perlakuan AFS mempunyai masa simpan lebih lama 45 hari dan memberikan nilai cohesiveness, firmness, dan intensitas warna yang lebih baik dibandingkan dua perlakuan sebelumnya (Martinez, 2010)
Prinsip pemanfaatan suhu pada pengolahan hasil perikanan tidak hanya sebatas penggunaan suhu rendah akan tetapi pemanfaatan suhu tinggi juga telah banyak diterapkan. Tujuan penerapan suhu tinggi adalah mematikan mikroorganisme penyebab kebusukan dan keracunan yang terkandung pada bahan (ikan) yang akan diolah, menginaktifkan enzim penyebab kerusakan ikan serta mendapatkan tekstur bahan yang diharapkan. Dalam bidang pengolahan hasil perikanan pemanfaatan suhu tinggi dikenal adanya :
C.     Boiling
Boiling merupakan salah satu tehnik pengolahan ikan dengan cara merebus ikan dalam air yang telah diberi garam maupun tanpa garam. Boiling fish atau di Indonesia lebih dikenal dengan ikan pindang merupakan tehnik pengawetan ikan yang bersifat singkat. Hal ini dikarenakan bahan baku ikan yang digunakan kurang memenuhi standar, tehnik pengolahan, serta pengemasan yang masih bersifat sederhana. Jenis ikan yang sering dijadikan pindang adalah kembung (Rastrelliger), Layang (Decapterus), Tongkol (Euthynnus) atau Caranx sp. Proses pengolahan ikan pindang pada masing-masing daerah berbeda-beda tergantung dari teknologi / peralatan yang digunakan. Secara umum proses pemindangan ikan adalah sebagai berikut :
Proses pemindangan ikan memberikan efek positif maupun negatif terhadap nutrisi, tekstur dan sensori produk. Hasil penelitian Oluwaniyi, O et al. (2010) menunjukkan bahwa Ikan Clupea harengus, Scomber scombrus, Trachurus trachurus and Urophycis tenuis yang telah dihilangkan kepala dan tulangnya dimasak selama 10 menit pada suhu 1000C hingga matang menunjukkan bahwa pemanfaatan panas dalam proses pengolahan ikan (boiling) 1). Mampu mengurangi kadar protein daging ikan yang nantinya menyebabkan kerusakan dan tidak tersediannya asam-asam amino, hal ini dikarenakan semakin lama dan tinggi temperatur yang digunakan pada proses pemindangan menyebabkan perubahan kandungan asam amino pada daging. Berikut ini disajikan perubahan asam amino beberapa jenis ikan. (Sumber : Oluwaniyi, O et al. 2010). 2). Ikan yang dipindang pada suhu 85-900C selama 15 menit mampu menurunkan nilai EPA dan DHA, akan tetapi EPA dan DHA ikan yang dipindang tersebut mengalami penurunan yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan ikan yang digoreng menggunakan minyak bunga matahari pada suhu 150-1700C selama 15-20 menit (Gladyshev, M. I. et al. 2007).
D.    Pasteurisasi
Proses pengolahan yang memanfaatkan suhu tinggi tetapi tidak melebihi titik didih air (1000 C’). Pasteurisasi digunakan untuk menginaktifkan enzim, membunuh sebagian bakteri pembusuk maupun patogen, dan mampu memperpanjang daya simpan. Penggunaan pasteurisasi disesuaikan dengan karakteristik bahan yang akan diolah dan biasanya bahan yang dipasteurisasi tidak tahan terhadap panas. Produk perikanan yang biasa dipasteurisasi adalah rajungan, kepiting, oyster. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002), bahwa suhu dalam wadah pasteurisasi rajungan 1800 – 1900 F atau 82,20 – 87,80 C selama 115 – 118 menit
E.     Sterilisasi
Sterilisasi merupakan pengolahan yang menggunakan suhu sangat tinggi, dapat melebihi titik didih air. Suhu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 1210C selama 15 menit dengan mengacu pada spora bakteri termophilus seperti Clostridium botulinum dan Bacillus lebih resisten pada suhu tersebut. Sterilisasi dapat merusak nilai gizi bahan yang diolah oleh karena itu dikenal adanya sterilisasi komersial. Sterilisasi komersiil merupakan tingkat sterilisasi dimana semua bakteri patogen dan pembentuk toksin, mikroorganisme jika ada dan yang dapat tumbuh dibawah penanganan dan kondisi penyimpanan normal dapat dimusnahkan.
Makanan yang telah disterilisasi komersial mungkin masih mengandung sejumlah kelompok mikroba dalam bentuk spora yang tahan panas, akan tetapi spora ini sudah inaktif atau tidak dapat membelah diri dan hanya dapat hidup bila diisolasi dan ditumbuhkan.
F.     Deep Frying
Deep frying sama halnya dengan proses pengolahan ikan memanfaatkan suhu tinggi yang bertujuan untuk inaktivasi enzim, membunuh mikroba pembusuk dan patogen yang nantinya meningkatkan daya awetnya serta memperbaiki tekstur dan citarasa produk yang dihasilkan akan tetapi yang membedakan disini adalah media perambatan panas yang digunakan berupa minyak. Minyak yang digunakan seperti minyak kelapa sawit, bunga matahari, canola, kedelai, maupunminyak sayur. Hal yang perlu diperhatikan pada proses penggorengan adalah jenis minyak yang digunakan, suhu pemanasan dan lama waktu pemanasan karena ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan oksidasi minyak maupun lemak khususnya asam lemak seperti EPA dan DHA yang terkandung pada ikan. Penelitian Gladyshev, M. I. et al. (2007) dan Emanuelli et al.  (2008) menunjukkan bahwa kandungan EPA dan DHA mengalami penurunan yang signifikan pada ikan yang digoreng jika dibandingkan dengan ikan yang diolah secara direbus maupun dipanggang.
G.    Iradiasi
Prinsip pengolahan hasil perikanan dengan iradiasi adalah bahan pangan diiradiasi pengion (Cobalt 60, Celsium 137, Mesin Berkas Elektron, Sinar X) sehingga sel hidup (mikroorganisme) mengalami eksitasi, ionisasi, dan perubahan kimia yang nantinya berpengaruh terhadap proses biologis mikroorganisme sehingga makanan mempunyai daya awet yang lebih lama. Di Indonesia pengolahan ikan secara iradiasi masih jarang kita jumpai hal ini disebabkan oleh faktor sumber daya yang digunakan harus benar-benar terlatih serta mahalnya biaya produksi yang harus dikeluarkan.
H.    Modified Atsmoshere Packaging (MAP)
MAP merupakan suatu tehnik pengawetan dengan memodifikasi susunan gas khususnya oksigen yang terdapat dalam kemasan dengan tujuan menghambat atau bahkan mematikan bakteri aerobik penyebab kebusukan (Ahvenainen, R. 2003).
 2.2. Tujuan Pengolahan Hasil Perikanan
1.      Mempertahankan dan memperpanjang daya awet produk sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Daya awet yang lebih lama menjadikan produk dapat didistribusikan ke berbagai daerah yang berjauhan dengan wilayah penghasil produk perikanan.
2.      Meningkatkan penerimaan produk, dengan adanya berbagai variasi hasil olahan produk perikanan menjadikan masyarakat mempunyai berbagai macam alternatif pilihan untuk mengkonsumsinya tanpa takut akan rasa “bosan”.
3.      Meningkatkan nilai gizi, komponen makro nutrient seperti lemak dan protein termasuk komponen dengan berat molekul yang besar dan panjang. Komponen – komponen tersebut dapat lebih mudah dicerna dan diserap agar dimanfaatkan oleh tubuh dalam bentuk molekul yang lebih ringan atau menjadi komponen penyusunnya seperti asam amino (protein) dan asam lemak (lemak). Proses pengolahan menjadikan komponen protein dan lemak terurai menjadi komponen yang lebih sederhana atau komponen penyusunnya.


2.3. Teknologi Pengolahan Daging
2.3.1. Pengawetan Daging
Pengawetan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpannya sampai sebelum dikonsumsi. Berdasarkan metode, pengawetan daging dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia. Pengawetan secara fisik meliputi proses pelayuan (penirisan darah selama 12-24 jam setelah ternak disembelih), pemanasan (proses pengolahan daging untuk menekan/membunuh kuman seperti pasteurisasi, sterilisasi) dan pendinginan (penyimpanan di suhu dingin refrigerator suhu 4-10°C, freezer suhu <0°C), pengawetan secara biologi melibatkan proses fermentasi menggunakan mikroba seperti pembuatan produk salami, sedangkan pengawetan kimia merupakan pengawetan yang melibatkan bahan kimia. Pengawetan secara kimia dibedakan menjadi pengawetan menggunakan bahan kimia dari bahan aktif alamiah dan bahan kimia (sintetis). Pengawetan menggunakan bahan aktif alamiah antara lain menggunakan rempah-rempah (bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe), metabolit sekunder bakteri (bakteriosin), dan lain-lain yang dilaporkan memiliki daya antibakteri, antimikroba, dan bakterisidal. Pengawetan menggunakan bahan kimia seperti garam dapur, sodium tripolyphosphate (STPP), sodium nitrit, sodium laktat, sodium asetat, sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), gula pasir dan lain-lain dan lain-lain. Dengan jumlah penggunaan yang tepat, pengawetan dengan bahan kimia sangat praktis karena dapat menghambat berkembangbiaknya mikroba jamur, kapang/khamir dan bakteri patogen.
Pengawetan daging dengan pemanasan

Pasteurisasi, yaitu pemanasan menggunakan suhu di bawah suhu didih untuk membunuh kuman/bakteri patogen namun sporanya masih dapat hidup. Ada 3 cara pasteurisasi yaitu: (i) Pasteurisasi lama (Low Temperature Long Time/LTLT). Pemanasan pada suhu yang tidak tinggi (62o-65°C) dengan waktu yang relatif lama (1/2 -1 jam), (ii) Pasteurisasi singkat (High Temperature Short Time/HTST). Pemanasan dilakukan pada suhu tinggi (85o-95°C) dengan waktu yang relatif singkat (1-2 menit), dan (iii)Pasteurisasi Ultra High Temperature (UHT). Pemanasan pada suhu tinggi dan segera didinginkan pada suhu 10°C. b.
Sterilisasi adalah proses pengawetan yang dilakukan dengan pemanasan sampai suhu di atas titik didih, sehingga bakteri dan sporanya mati. Sterilisasi dilakukan dengan cara : (i) UHT yaitu pemanasan sampai suhu 137°-140°C selama 2-5 detik dan (ii) Produk dalam kemasan hermetis dipanaskan pada suhu 110°-121°C selama 20-45 detik.

Pengawetan daging dengan bahan kimia
a.  Bahan Aktif alamiah
1)      Bawang putih dan bawang bombay, kandungan alisin berguna untuk antimikroba
2)      Kunyit, kandungan kurkumin (golongan fenol) didalamnya memiliki sifat bakterisidal
3)      Lengkuas, senyawa fenolik lengkuas bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur
4)       Jahe, senyawa antioksidan didalamnya dapat dimanfaatkan mengawetkan minyak dan lemak
5)      Bakteriosin, merupakan produk ekstraseluler (Jack et al., 1995) yang diproduksi oleh bakteri asam laktat, sebagai protein yang aktif secara biologi atau kompleks protein (agregat protein, protein lipokarbohidrat, glikoprotein) yang disintesa secara ribosomal dan menunjukkan aktivitas antibakteri (Vuyst and Vandamme, 1994; Ammor et al., 2006). Bakteriosin sebagai biopreservatif pangan harus memenuhi kriteria seperti pengawet atau bahan tambahan pangan lainnya antara lain aman bagi konsumen, memiliki aktivitas bakterisidal terhadap kelompok bakteri gram positif dalam sistem makanan, stabil, terdistribusi secara merata dalam sistem makanan, dan ekonomis (Ray, 1996).
b. Bahan kimia
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia pengawet yang termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk olahan daging. Namun masyarakat dewasa ini ketakutan bila mendengar istilah bahan pengawet atau bahan kimia yang dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Bahan tambahan pangan adalah bahan aditif yang mengandung senyawa kimia yang telah diizinkan penggunaannya (Suryanto, 2009). Di Indonesia, penggunaan bahan tambahan tersebut diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Beberapa BTP yang diizinkan antara lain adalah:
1.      Garam NaCl (garam dapur), berguna untuk menghambat pertumbuhan khamir/yeast dan jamur. Penggunaan garam dapur berkisar antara 1,5-3%.
2.      Sodium tripolyphosphate (STPP), bertujuan menurunkan jumlah bakteri sehingga produk olahan daging dapat tahan lama. Perendaman karkas selama 6 jam dalam larutan disodium fosfat dengan konsentrasi 6,23% dapat meningkatkan masa simpan 1-2 hari. Penggunaan STPP pada produk olahan daging tidak boleh lebih dari 0,5%.
3.      Gula pasir, dapat digunakan sebagai pengawet dengan tingkat penggunaan minimal 3% atau disesuaikan dengan jenis produk olahan daging.
4.      Sodium nitrit, digunakan dalam campuran curing untuk menghasilkan kestabilan pigmen daging olahan. Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari 156 ppm, kadang-kadang dikombinasikan dengan askorbat 550 ppm untuk mencegah pembentukan senyawa karsinogen nitrosamin.
5.      Sodium laktat, digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum penggunaan sodium laktat adalah 2,9%
6.      Sodium asetat, digunakan sebagai agen antimikroba dan flavouring dengan jumlah penggunaan maksimum 0,25%.
7.      Sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), sebagai pengawet daging olahan digunakan dengan konsentrasi 0,1%.

Pengawetan daging melalui pengolahan
            Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur, kapang/khamir, dan bakteri patogen, agar daging tidak mudah rusak. Dalam rangka mempertahankan nilai gizi daging dilakukan upaya pengolahan untuk tujuan pengawetan dan perluasan jangkauan pemasaran. Beberapa cara pengolahan daging yang dapat dilakukan antara lain dengan proses pengeringan (contoh dendeng), pengasapan (contoh daging asap), pengasaman (contoh salami), pemanasan (contoh abon), kombinasi perlakuan-perlakuan tersebut (contoh: sosis, bakso, nugget, kornet, dan lain-lain). Dalam bentuk produk olahan maka daging dapat disimpan lebih lama serta relatif tidak mengalami perubahan mutu dan citarasa spesifik daging.

2.3.2. Pengolahan Daging
Daging curing (cured meat)
            Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam sendawa (garam salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam dapur, bumbu-bumbu, fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya. Tetapi biasanya curing dilakukan hanya dengan garam salpeter/sendawa dan garam dapur saja dan kemudian, ditambahkan bahan-bahan lainnya bila akan dibuat produk olahannya.
            Curing itu sendiri merupakan cara mengawetkan daging seca kimiawi. Produk dari daging curing ini disebut dengan cured meat. Biasanya cured meat ini merupakan produk intermediate daging karena setelah dicuring, daging bisa diolah menjadi olahan lainnya
            Curing pada daging ini dimaksudkan untuk meningkatkan warna merah daging, menstabilkan flavor, mengawetkan dan lain-lainnya. Jadi bila menghendaki produk daging (misalnya sosis) dengan warna merah cerah daging, maka perelu dicuring dengan nitrit. Nitrat/nitrit berfungsi untuk fiksasi warna merah daging, antimikrobial terutama Clostridium botulinum, dan menstabilkan flavor. Garam berfungsi sebagai pembangkit flavor yang khas dan antimikrobial. Bumbu-bumbu adalah penting untuk meningkatkan flavor sehingga meningkatkan kesukaan pada konsumen. Selain itu bumbu juga bersifat antimikrobial dan antioksidan sehingga
berperan mengawetkan. Fosfat, berfungsi untuk meningkatkan kekenyalan produk dan mengurangi pengkerutan daging selama proses pengolahan serta menghambat oksidasi produk. Beberapa olahan tidak menggunakan fosfat, jadi bersifat pilihan saja.
            Khusus nitrat/nitrit, penggunaannya harus dibatasi karena bila berlebihan bisa berdampak negatif bagi yang mengkonsumsinya. Kadar akhir nitrit pada suatu produk harus tidak lebih dari 200 ppm dan nitrat tidak lebih dari 500 ppm. Berdasarkan Departemen Pertanian Amerika Serikat, penambahan garam nitriat atau nitrit tidak boleh lebih dari 239,7 g/1001 larutan garam, 62,8 g/100 kg daging untuk curing kering dan 15,7 g/100 kg daging cacahan untuk sosis.  Secara garis besar, curing dapat dilakukan dengan cara kering dan basah. Cara kering adalah dengan mengolesi/menaburkan campuran bahan curing secara merata ke seluruh bagian daging. Curing kering ini bahan-bahannya adalah 26% NaCl, 5% KNO3, 0,1% NaNO2 dan 0,5 - % sukrosa. Curing secara basah adalah dengan merendam daging ke dalam larutan yang mengandung bahan-bahan curing. Caranya adalah merendamkan daging ke dalam larutan garam dengan perbandingan 1:1.  Larutan garam yang dibuat adalah 26% NaCl, 2 – 4% KNO3, 0,1% NaNO2.  Perendaman dilakukan selama 10 – 20 hari. Selain direndam, cara basah ini bisa dilakukan dengan injeksi larutan curing.


















BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Daging adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Daging merupakan bahan makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya yang tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino essensial yang lengkap dan seimbang (Lawrie, 1995). Ikan adalah salah satu hasil komoditi yang sangat potensial, karena keberadaannya sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, suku, dan agama (Anonim, 2001).

3.2 Saran
Dengan adanya makalah tentang Teknologi Pengolahan Ikan dan Daging dapat membantu pembaca dalam menambah pengetahuan tentang isi makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Ahvenainen, R. 2003. Active and intelligent packaging : An introducing. In R. Ahvenainen (Ed), Novel food packaging techniques (pp. 6). Boca Raton, FL : CRC Press. LLC
Emanuelli, Tatiana., Jucieli Weber., Vivian C. Bochi., Cristiane P. Ribeiro., Andre de M. Victorio. 2008. Effect of different cooking methods on the oxidation, proximate and fatty acid composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry 106 (2008) 140 – 146.
Gladyshev, Michail. I., Nadezdha N. Suschik., Galina A. Gubanenko., Sevilia M. Demirchieva., Galina S. Kalachova. 2007. Effect of boiling and frying on the content of essential polyunsaturated fatty acids in muscle tissue of four species. Food Chemistry 101 (2007) 1694 – 1700.
Martinez, Olaia., Jesus Salmeron, Maria D. Guillen, Carmen Casas. 2010. Effect of freezing on the phsicochemical, texture and sensorial characteristic of salmon (Salmo salar) smoked with liquid smoke flavouring. LWT – Food Science and Technology 43 (2010) 910 – 918.
Oluwaniyi, O.O., O.O. Dosumu., G. V. Awolola. 2010. Effect of local processing methods (boilling, frying and roasting) on the amino acid composition of four marine fishes commonly consumed in Nigeria. Food Chemsitry 123 (2010) 1000 – 1006.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sudono, A., I.K. Abdulgani, H. Najib, R. Ratih. 1999. Penuntun Praktikum Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan IPB.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Budaya dan Perilaku

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Budaya merupakan salah satu unsur dasar dalam kehidupan social. Budaya mempunyai peranan p...