BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Daging
adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak,
mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Daging merupakan bahan
makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya yang
tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino essensial yang lengkap
dan seimbang (Lawrie, 1995). Karena kandungan gizi yang cukup kompleks, maka
daging merupakan sumber makanan bagi bakteri, dimana bakteri pada daging dapat
mengakibatkan perubahan fisik dan kimia yang tidak diinginkan, sehingga daging
tidak dapat disimpan lebih lama. Dalam hal ini untuk meningkatkan nilai
manfaatnya, daging dapat dimasak, digoreng, dipanggang, disate, diasap, atau
diolah menjadi produk lain yang menarik antara lain kornet, sosis, dendeng dan
abon.
Ikan
adalah salah satu hasil komoditi yang sangat potensial, karena keberadaannya
sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, suku, dan
agama (Anonim, 2001). Tubuh ikan mengandung protein dan air yang cukup tinggi
serta mempunyai pH tubuh yang mendekati netral sehingga bisa dijadikan medium
yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, karena kondisi yang
demikian ikan termasuk komoditi yang mudah rusak (Rahardi et al., 1995).
Daging
dan ikan adalah bahan pangan yang sudah umum dimasyarakat dan telah menjadi hal
yang tidak asing lagi. Akan tetapi, sering kali terjadi hal-hal yang dapat
menyebabkan kerusakan pada daging dan ikan, dikarenakan daging dan ikan yang
mudah mengalami kerusakan jika tidak ada penanganan yang sempurna. Oleh karena
itu, dilakukan praktikum ini adalah untuk mengamati daging dan ikan segar
dengan melakukan pengamatan daging segar dan kurang segar maupun ikan segar dan
kurang segar, pengamatan marbling pada daging, uji pH, warna, tekstur, cooking
loss dan drip loss, serta pengamatan beberapa jenis daging. Diperlukan
pengamatan-pengamatan tersebut agar kita tahu daging da ikan yang baik untuk
diolah dan yang tidak pantas untuk diolah.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
teknologi pengolahan ikan ?
2.
Bagaimana
teknologi pengolahan daging ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui teknologi dalam pengolahan ikan.
2. Untuk mengetahui teknologi dalam pengolahan daging.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teknologi Pengolahan
Ikan
Berdasarkan karakteristik atau sifat dasar teknologi
pengolahan hasil perikanan dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut :
1. Fisikawi, pengolahan yang memanfaatkan sifat fisik
seperti sinar matahari, suhu (suhu rendah maupun suhu tinggi), cahaya atau
sinar (iradiasi), Modified Atmosphere Packaging (MAP).
2. Kimiawi, pengolahan yang memanfaatkan bahan kimia
alami seperti garam, gula, pengasapan, serta bumbu-bumbu alami maupun bahan
tambahan pangan.
3. Biologi, memanfaatkan organisme maupun produk
metabolisme organisme contohnya fermentasi.
4. Kombinasi dari beberapa proses tersebut diatas maupun
ketiganya sekaligus.
Masing-masing jenis pengolahan menghasilkan produk
dengan karakteristik yang berbeda-beda baik dari segi sensoris maupun nilai
nutrisinya. Setiap pengolahan tentunya mempunyai nilai positif serta negatif
sehingga kedua hal tersebut tentunya perlu diketahui oleh pengolah agar manfaat
dan nutrisi produk perikanan dapat dioptimalkan. Untuk itu, adanya pengetahuan
tentang pengolahan hasil perikanan perlu diketahui oleh pihak yang berkecimpung
di bidang ini.
1. Fisikawi
Pengolahan
hasil perikanan memanfaatkan sifat-sifat fisikawi terutama penggunaan suhu
merupakan prinsip dasar dalam bidang pengolahan hasil perikanan. Penggunaan
suhu dikenal dengan suhu rendah (chilling
dan freezing) dan suhu tinggi yang
meliputi (boiling, pasteurisasi, dan
sterilisasi). Berikut masing-masing pnejelasan proses tersebut.
A. Chilling
Chiling
atau dalam bahasa umumnya adalah pendinginan merupakan proses pengolahan ikan yang
sangat sederhana dan sering digunakan, pendinginan berprinsip menurunkan suhu
serendah mungkin yang dilakukan dengan cepat. Pendinginan hanya mampu
memperlambat proses pembusukan oleh bakteri maupun aktifitas enzim pembusuk.
Suhu pendinginan berkisar antara (0 – 40C) dan patokan suhu ini yang
dijadikan pembeda antara proses pendinginan dengan freezing atau lebih dikenal dengan pembekuan. Media pendingin dapat
berupa gas, cairan maupun padatan contohnya es, es lebih sering digunakan. Es
sebagai media pendingin dapat berbentuk balok maupun curai dan dapat dibuat
dari air tawar yang didinginkan, air laut yang didinginkan, dan air larutan
garam yang didinginkan. Pendinginan dengan es dapat digunakan secara langsung
untuk mengawetkan ikan dengan susunan (es, ikan, es, ikan dst) maupun
ditambahkan dengan air (es, air, dan ikan). Kebutuhan es sebagai media
pendingin ikan adalah 1 : 1 (1 kg ikan :
1 kg es).
B. Freezing
Freezing
atau yang sering dikenal pembekuan adalah proses dimana suatu produk diturunkan
suhunya hingga dibawah titik beku dan sebagian dari air yang terkandung
didalamnya telah menjadi kristal es (Fellows, 1990). Dari pengertian tersebut
penggunaan suhu lebih rendah dari -20C bahkan sampai -300C
atau lebih rendah lagi digunakan dalam proses pembekuan. Titik beku air yang
terkandung dalam tubuh ikan adalah 00C sehingga kondisi diluar tubuh
ikan untuk mencapai titik beku tersebut haruslah lebih rendah dari 00C.
Perbedaan penggunaan suhu inilah yang menjadikan pembeda antara proses
pendinginan dan pembekuan. Hal penting yang perlu diperhatikan apabila akan
membekukan ikan adalah :
1. Karakteristik ikan atau bahan baku (hal ini meliputi
sifat biologis, karakteristik kimiawi ikan, bentuk dan ukuran ikan, ketebalan
produk, cara penanganan ikan, cara kematian ikan dan lain sebagainya).
2. Penguasaan sistem dan proses pembekuan meliputi faktor
penentu laju dan waktu pembekuan, metode pindah panas dan termodinamika produk,
sirkulasi, kecepatan dan distribusi medium pembeku.
3. Penguasaan peralatan dan mesin pembekuan meliputi
jenis dan kapasitas mesin pembeku serta metode pengoperasiaannya.
4. Biaya produksi untuk melakukan proses pembekuan.
Pemanfaatan dengan suhu rendah selain memberikan efek
positif juga dapat memberikan efek negatif, efek negatif yang dapat ditimbulkan
dari proses pemanfaatan suhu rendah adalah :
Denaturasi dan agregasi protein akibat aktifitas
enzim, tingkat ekstrakbilitasnya berkurang, menurunnya daya ikat air (Water Holding Capacity) daging ikan dan pada akhirnya menyebabkan
perubahan tekstur dan sensori daging yang tidak diinginkan. Ikan salmon asap
yang disimpan pada suhu 40C(RFS), fillet salmon yang belum diasap
disimpan pada suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan
pada suhu 40C (BFS), dan fillet salmon yang sebelumnya disimpan pada
suhu suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu
-180C selama 24 jam sebelum dianalisis (AFS), semua sampel
dianalisis pada hari ke – 2, 9, 16, 23, 30, 37 dan 45 hari. Hasil analisa
menunjukkan bahwa perlakuan RFS dan BFS menghasilkan efek negatif pada adhesiveness dan cohesiveness (karakteristik tekstur), intensitas aroma asap, aroma
amina, dan intensitas warna daging. Sedangkan perlakuan AFS mempunyai masa
simpan lebih lama 45 hari dan memberikan nilai cohesiveness, firmness,
dan intensitas warna yang lebih baik dibandingkan dua perlakuan sebelumnya
(Martinez, 2010)
Prinsip pemanfaatan suhu pada pengolahan hasil
perikanan tidak hanya sebatas penggunaan suhu rendah akan tetapi pemanfaatan
suhu tinggi juga telah banyak diterapkan. Tujuan penerapan suhu tinggi adalah
mematikan mikroorganisme penyebab kebusukan dan keracunan yang terkandung pada
bahan (ikan) yang akan diolah, menginaktifkan enzim penyebab kerusakan ikan
serta mendapatkan tekstur bahan yang diharapkan. Dalam bidang pengolahan hasil
perikanan pemanfaatan suhu tinggi dikenal adanya :
C. Boiling
Boiling
merupakan salah satu tehnik pengolahan ikan dengan cara merebus ikan dalam air
yang telah diberi garam maupun tanpa garam. Boiling
fish atau di Indonesia lebih dikenal dengan ikan pindang merupakan tehnik
pengawetan ikan yang bersifat singkat. Hal ini dikarenakan bahan baku ikan yang
digunakan kurang memenuhi standar, tehnik pengolahan, serta pengemasan yang
masih bersifat sederhana. Jenis ikan yang sering dijadikan pindang adalah kembung
(Rastrelliger), Layang (Decapterus), Tongkol (Euthynnus) atau Caranx sp. Proses pengolahan ikan pindang pada masing-masing daerah
berbeda-beda tergantung dari teknologi / peralatan yang digunakan. Secara umum
proses pemindangan ikan adalah sebagai berikut :
Proses pemindangan ikan memberikan efek positif maupun negatif terhadap
nutrisi, tekstur dan sensori produk. Hasil penelitian Oluwaniyi, O et al. (2010) menunjukkan bahwa Ikan Clupea harengus, Scomber scombrus,
Trachurus trachurus and
Urophycis tenuis yang telah dihilangkan kepala dan tulangnya dimasak selama
10 menit pada suhu 1000C hingga matang menunjukkan bahwa pemanfaatan
panas dalam proses pengolahan ikan (boiling)
1). Mampu mengurangi kadar protein daging ikan yang nantinya menyebabkan
kerusakan dan tidak tersediannya asam-asam amino, hal ini dikarenakan semakin
lama dan tinggi temperatur yang digunakan pada proses pemindangan menyebabkan
perubahan kandungan asam amino pada daging. Berikut ini disajikan perubahan
asam amino beberapa jenis ikan. (Sumber : Oluwaniyi,
O et al. 2010). 2). Ikan yang
dipindang pada suhu 85-900C selama 15 menit mampu menurunkan nilai
EPA dan DHA, akan tetapi EPA dan DHA ikan yang dipindang tersebut mengalami
penurunan yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan ikan yang digoreng
menggunakan minyak bunga matahari pada suhu 150-1700C selama 15-20
menit (Gladyshev, M. I. et al. 2007).
D. Pasteurisasi
Proses
pengolahan yang memanfaatkan suhu tinggi tetapi tidak melebihi titik didih air
(1000 C’). Pasteurisasi digunakan untuk menginaktifkan enzim,
membunuh sebagian bakteri pembusuk maupun patogen, dan mampu memperpanjang daya
simpan. Penggunaan pasteurisasi disesuaikan dengan karakteristik bahan yang
akan diolah dan biasanya bahan yang dipasteurisasi tidak tahan terhadap panas.
Produk perikanan yang biasa dipasteurisasi adalah rajungan, kepiting, oyster.
Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002), bahwa suhu dalam wadah pasteurisasi
rajungan 1800 – 1900 F atau 82,20 – 87,80
C selama 115 – 118 menit
E. Sterilisasi
Sterilisasi
merupakan pengolahan yang menggunakan suhu sangat tinggi, dapat melebihi titik
didih air. Suhu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 1210C selama
15 menit dengan mengacu pada spora bakteri termophilus seperti Clostridium botulinum dan Bacillus lebih resisten pada suhu
tersebut. Sterilisasi dapat merusak nilai gizi bahan yang diolah oleh karena
itu dikenal adanya sterilisasi komersial. Sterilisasi komersiil merupakan
tingkat sterilisasi dimana semua bakteri patogen dan pembentuk toksin,
mikroorganisme jika ada dan yang dapat tumbuh dibawah penanganan dan kondisi
penyimpanan normal dapat dimusnahkan.
Makanan
yang telah disterilisasi komersial mungkin masih mengandung sejumlah kelompok
mikroba dalam bentuk spora yang tahan panas, akan tetapi spora ini sudah inaktif
atau tidak dapat membelah diri dan hanya dapat hidup bila diisolasi dan
ditumbuhkan.
F. Deep Frying
Deep frying sama halnya dengan proses pengolahan ikan
memanfaatkan suhu tinggi yang bertujuan untuk inaktivasi enzim, membunuh
mikroba pembusuk dan patogen yang nantinya meningkatkan daya awetnya serta
memperbaiki tekstur dan citarasa produk yang dihasilkan akan tetapi yang
membedakan disini adalah media perambatan panas yang digunakan berupa minyak.
Minyak yang digunakan seperti minyak kelapa sawit, bunga matahari, canola,
kedelai, maupunminyak sayur. Hal yang perlu diperhatikan pada proses
penggorengan adalah jenis minyak yang digunakan, suhu pemanasan dan lama waktu
pemanasan karena ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan oksidasi minyak
maupun lemak khususnya asam lemak seperti EPA dan DHA yang terkandung pada
ikan. Penelitian Gladyshev, M. I. et al.
(2007) dan Emanuelli et al. (2008) menunjukkan bahwa kandungan EPA dan
DHA mengalami penurunan yang signifikan pada ikan yang digoreng jika
dibandingkan dengan ikan yang diolah secara direbus maupun dipanggang.
G.
Iradiasi
Prinsip
pengolahan hasil perikanan dengan iradiasi adalah bahan pangan diiradiasi
pengion (Cobalt 60, Celsium 137, Mesin Berkas Elektron, Sinar X) sehingga sel
hidup (mikroorganisme) mengalami eksitasi, ionisasi, dan perubahan kimia yang
nantinya berpengaruh terhadap proses biologis mikroorganisme sehingga makanan
mempunyai daya awet yang lebih lama. Di Indonesia pengolahan ikan secara
iradiasi masih jarang kita jumpai hal ini disebabkan oleh faktor sumber daya
yang digunakan harus benar-benar terlatih serta mahalnya biaya produksi yang
harus dikeluarkan.
H.
Modified Atsmoshere Packaging (MAP)
MAP merupakan suatu tehnik pengawetan dengan memodifikasi susunan gas
khususnya oksigen yang terdapat dalam kemasan dengan tujuan menghambat atau
bahkan mematikan bakteri aerobik penyebab kebusukan (Ahvenainen, R. 2003).
2.2. Tujuan Pengolahan Hasil Perikanan
1.
Mempertahankan
dan memperpanjang daya awet produk sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
luas. Daya awet yang lebih lama menjadikan produk dapat didistribusikan ke
berbagai daerah yang berjauhan dengan wilayah penghasil produk perikanan.
2.
Meningkatkan
penerimaan produk, dengan adanya berbagai variasi hasil olahan produk perikanan
menjadikan masyarakat mempunyai berbagai macam alternatif pilihan untuk
mengkonsumsinya tanpa takut akan rasa “bosan”.
3.
Meningkatkan
nilai gizi, komponen makro nutrient seperti lemak dan protein termasuk komponen
dengan berat molekul yang besar dan panjang. Komponen – komponen tersebut dapat
lebih mudah dicerna dan diserap agar dimanfaatkan oleh tubuh dalam bentuk
molekul yang lebih ringan atau menjadi komponen penyusunnya seperti asam amino
(protein) dan asam lemak (lemak). Proses pengolahan menjadikan komponen protein
dan lemak terurai menjadi komponen yang lebih sederhana atau komponen
penyusunnya.
2.3. Teknologi Pengolahan Daging
2.3.1.
Pengawetan Daging
Pengawetan
daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpannya sampai sebelum dikonsumsi.
Berdasarkan metode, pengawetan daging dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu
pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia. Pengawetan secara fisik meliputi
proses pelayuan (penirisan darah selama 12-24 jam setelah ternak disembelih),
pemanasan (proses pengolahan daging untuk menekan/membunuh kuman seperti
pasteurisasi, sterilisasi) dan pendinginan (penyimpanan di suhu dingin refrigerator
suhu 4-10°C, freezer suhu <0°C), pengawetan secara biologi
melibatkan proses fermentasi menggunakan mikroba seperti pembuatan produk
salami, sedangkan pengawetan kimia merupakan pengawetan yang melibatkan bahan
kimia. Pengawetan secara kimia dibedakan menjadi pengawetan menggunakan bahan
kimia dari bahan aktif alamiah dan bahan kimia (sintetis). Pengawetan
menggunakan bahan aktif alamiah antara lain menggunakan rempah-rempah (bawang
putih, kunyit, lengkuas, jahe), metabolit sekunder bakteri (bakteriosin), dan
lain-lain yang dilaporkan memiliki daya antibakteri, antimikroba, dan
bakterisidal. Pengawetan menggunakan bahan kimia seperti garam dapur, sodium
tripolyphosphate (STPP), sodium nitrit, sodium laktat, sodium asetat, sendawa
(kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), gula pasir dan lain-lain dan
lain-lain. Dengan jumlah penggunaan yang tepat, pengawetan dengan bahan kimia
sangat praktis karena dapat menghambat berkembangbiaknya mikroba jamur,
kapang/khamir dan bakteri patogen.
Pengawetan
daging dengan pemanasan
Pasteurisasi, yaitu pemanasan menggunakan suhu di bawah suhu
didih untuk membunuh kuman/bakteri patogen namun sporanya masih dapat hidup. Ada
3 cara pasteurisasi yaitu: (i) Pasteurisasi lama (Low Temperature Long Time/LTLT).
Pemanasan pada suhu yang tidak tinggi (62o-65°C) dengan waktu yang relatif lama
(1/2 -1 jam), (ii) Pasteurisasi singkat (High Temperature Short Time/HTST).
Pemanasan dilakukan pada suhu tinggi (85o-95°C) dengan waktu yang relatif
singkat (1-2 menit), dan (iii)Pasteurisasi Ultra High Temperature (UHT).
Pemanasan pada suhu tinggi dan segera didinginkan pada suhu 10°C. b.
Sterilisasi adalah proses pengawetan yang dilakukan dengan
pemanasan sampai suhu di atas titik didih, sehingga bakteri dan sporanya mati.
Sterilisasi dilakukan dengan cara : (i) UHT yaitu pemanasan sampai suhu
137°-140°C selama 2-5 detik dan (ii) Produk dalam kemasan hermetis dipanaskan
pada suhu 110°-121°C selama 20-45 detik.
Pengawetan
daging dengan bahan kimia
a. Bahan Aktif alamiah
1) Bawang putih dan bawang bombay,
kandungan alisin berguna untuk antimikroba
2) Kunyit, kandungan kurkumin (golongan
fenol) didalamnya memiliki sifat bakterisidal
3) Lengkuas, senyawa fenolik lengkuas
bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur
4) Jahe, senyawa antioksidan
didalamnya dapat dimanfaatkan mengawetkan minyak dan lemak
5) Bakteriosin, merupakan produk
ekstraseluler (Jack et al., 1995) yang diproduksi oleh bakteri asam
laktat, sebagai protein yang aktif secara biologi atau kompleks protein
(agregat protein, protein lipokarbohidrat, glikoprotein) yang disintesa secara
ribosomal dan menunjukkan aktivitas antibakteri (Vuyst and Vandamme, 1994;
Ammor et al., 2006). Bakteriosin sebagai biopreservatif pangan harus
memenuhi kriteria seperti pengawet atau bahan tambahan pangan lainnya antara
lain aman bagi konsumen, memiliki aktivitas bakterisidal terhadap kelompok
bakteri gram positif dalam sistem makanan, stabil, terdistribusi secara merata
dalam sistem makanan, dan ekonomis (Ray, 1996).
b. Bahan kimia
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan
kimia pengawet yang termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk
olahan daging. Namun masyarakat dewasa ini ketakutan bila mendengar istilah
bahan pengawet atau bahan kimia yang dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh.
Bahan tambahan pangan adalah bahan aditif yang mengandung senyawa kimia yang
telah diizinkan penggunaannya (Suryanto, 2009). Di Indonesia, penggunaan bahan
tambahan tersebut diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan No.
1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Beberapa BTP yang
diizinkan antara lain adalah:
1. Garam NaCl (garam dapur), berguna
untuk menghambat pertumbuhan khamir/yeast dan jamur. Penggunaan garam dapur
berkisar antara 1,5-3%.
2. Sodium tripolyphosphate (STPP),
bertujuan menurunkan jumlah bakteri sehingga produk olahan daging dapat tahan
lama. Perendaman karkas selama 6 jam dalam larutan disodium fosfat dengan
konsentrasi 6,23% dapat meningkatkan masa simpan 1-2 hari. Penggunaan STPP pada
produk olahan daging tidak boleh lebih dari 0,5%.
3. Gula pasir, dapat digunakan sebagai
pengawet dengan tingkat penggunaan minimal 3% atau disesuaikan dengan jenis
produk olahan daging.
4. Sodium nitrit, digunakan dalam
campuran curing untuk menghasilkan kestabilan pigmen daging olahan.
Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari 156 ppm, kadang-kadang dikombinasikan
dengan askorbat 550 ppm untuk mencegah pembentukan senyawa karsinogen
nitrosamin.
5. Sodium laktat, digunakan untuk
mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum penggunaan sodium laktat adalah 2,9%
6. Sodium asetat, digunakan sebagai
agen antimikroba dan flavouring dengan jumlah penggunaan maksimum 0,25%.
7. Sendawa (kalium nitrat, kalsium
nitrat, natrium nitrat), sebagai pengawet daging olahan digunakan dengan
konsentrasi 0,1%.
Pengawetan
daging melalui pengolahan
Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang
cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan
adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur, kapang/khamir, dan bakteri
patogen, agar daging tidak mudah rusak. Dalam rangka mempertahankan nilai gizi
daging dilakukan upaya pengolahan untuk tujuan pengawetan dan perluasan
jangkauan pemasaran. Beberapa cara pengolahan daging yang dapat dilakukan antara
lain dengan proses pengeringan (contoh dendeng), pengasapan (contoh daging
asap), pengasaman (contoh salami), pemanasan (contoh abon), kombinasi
perlakuan-perlakuan tersebut (contoh: sosis, bakso, nugget, kornet, dan
lain-lain). Dalam bentuk produk olahan maka daging dapat disimpan lebih lama
serta relatif tidak mengalami perubahan mutu dan citarasa spesifik daging.
2.3.2. Pengolahan Daging
Daging curing (cured meat)
Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam sendawa
(garam salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam
dapur, bumbu-bumbu, fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya.
Tetapi biasanya curing dilakukan hanya dengan garam salpeter/sendawa dan garam
dapur saja dan kemudian, ditambahkan bahan-bahan lainnya bila akan dibuat
produk olahannya.
Curing itu sendiri merupakan cara mengawetkan daging seca kimiawi. Produk dari
daging curing ini disebut dengan cured meat. Biasanya cured meat ini merupakan
produk intermediate daging karena setelah dicuring, daging bisa diolah menjadi
olahan lainnya
Curing pada daging ini dimaksudkan untuk meningkatkan warna merah daging,
menstabilkan flavor, mengawetkan dan lain-lainnya. Jadi bila menghendaki produk
daging (misalnya sosis) dengan warna merah cerah daging, maka perelu dicuring
dengan nitrit. Nitrat/nitrit berfungsi untuk fiksasi warna merah daging,
antimikrobial terutama Clostridium botulinum, dan menstabilkan flavor. Garam
berfungsi sebagai pembangkit flavor yang khas dan antimikrobial. Bumbu-bumbu
adalah penting untuk meningkatkan flavor sehingga meningkatkan kesukaan pada
konsumen. Selain itu bumbu juga bersifat antimikrobial dan antioksidan sehingga
berperan mengawetkan. Fosfat, berfungsi untuk meningkatkan
kekenyalan produk dan mengurangi pengkerutan daging selama proses pengolahan
serta menghambat oksidasi produk. Beberapa olahan tidak menggunakan fosfat,
jadi bersifat pilihan saja.
Khusus nitrat/nitrit, penggunaannya harus dibatasi karena bila berlebihan bisa
berdampak negatif bagi yang mengkonsumsinya. Kadar akhir nitrit pada suatu
produk harus tidak lebih dari 200 ppm dan nitrat tidak lebih dari 500 ppm.
Berdasarkan Departemen Pertanian Amerika Serikat, penambahan garam nitriat atau
nitrit tidak boleh lebih dari 239,7 g/1001 larutan garam, 62,8 g/100 kg daging
untuk curing kering dan 15,7 g/100 kg daging cacahan untuk sosis. Secara
garis besar, curing dapat dilakukan dengan cara kering dan basah. Cara kering
adalah dengan mengolesi/menaburkan campuran bahan curing secara merata ke
seluruh bagian daging. Curing kering ini bahan-bahannya adalah 26% NaCl, 5%
KNO3, 0,1% NaNO2 dan 0,5 - % sukrosa. Curing secara basah adalah dengan
merendam daging ke dalam larutan yang mengandung bahan-bahan curing. Caranya
adalah merendamkan daging ke dalam larutan garam dengan perbandingan 1:1.
Larutan garam yang dibuat adalah 26% NaCl, 2 – 4% KNO3, 0,1% NaNO2.
Perendaman dilakukan selama 10 – 20 hari. Selain direndam, cara basah ini
bisa dilakukan dengan injeksi larutan curing.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Daging adalah bahan pangan yang bernilai
gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang
sangat dibutuhkan tubuh. Daging merupakan bahan makanan yang penting dalam
memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya yang tinggi, pada daging
terdapat pula kandungan asam amino essensial yang lengkap dan seimbang (Lawrie,
1995). Ikan adalah salah satu hasil komoditi yang sangat potensial, karena
keberadaannya sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan
masyarakat, suku, dan agama (Anonim, 2001).
3.2 Saran
Dengan adanya makalah tentang Teknologi
Pengolahan Ikan dan Daging dapat membantu pembaca dalam menambah pengetahuan
tentang isi makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahvenainen, R. 2003. Active and intelligent packaging
: An introducing. In R. Ahvenainen (Ed), Novel food packaging techniques (pp.
6). Boca Raton, FL : CRC Press. LLC
Emanuelli, Tatiana., Jucieli Weber., Vivian C. Bochi.,
Cristiane P. Ribeiro., Andre de M. Victorio. 2008. Effect of different cooking
methods on the oxidation, proximate and fatty acid composition of silver
catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry 106 (2008) 140 – 146.
Gladyshev, Michail. I., Nadezdha N. Suschik., Galina
A. Gubanenko., Sevilia M. Demirchieva., Galina S. Kalachova. 2007. Effect of
boiling and frying on the content of essential polyunsaturated fatty acids in
muscle tissue of four species. Food Chemistry 101 (2007) 1694 – 1700.
Martinez, Olaia., Jesus Salmeron, Maria D. Guillen,
Carmen Casas. 2010. Effect of freezing on the phsicochemical, texture and
sensorial characteristic of salmon (Salmo
salar) smoked with liquid smoke flavouring. LWT – Food Science and
Technology 43 (2010) 910 – 918.
Oluwaniyi,
O.O., O.O. Dosumu., G. V. Awolola. 2010. Effect of local processing methods
(boilling, frying and roasting) on the amino acid composition of four marine
fishes commonly consumed in Nigeria. Food Chemsitry 123 (2010) 1000 – 1006.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi
Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Soeparno, 2005. Ilmu dan
Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sudono, A., I.K.
Abdulgani, H. Najib, R. Ratih. 1999. Penuntun Praktikum Ilmu Produksi Ternak
Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan IPB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar