BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak tingkat hidup yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan
diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu
tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak
Azasi Manusia. Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas
derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan
keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan
kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada
saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia
lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada
di luar kekuasaannya.
Berdasarkan Deklarasi
tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk
mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk
(Universal Health Coverage). Dalam sidang ke58 tahun 2005 di Jenewa, World
Health Assembly (WHA) menggaris bawahi perlunya pengembangan sistem
pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat
Terhadap pelayanan
kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan.
WHA ke58 mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang
berkelanjutan melalui Universal Health Coverage diselenggarakan melalui
mekanisme asuransi kesehatan sosial. WHA juga menyarankan kepada WHO agar
mendorong negara-negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem
pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan ketika mereka bergerak menuju
Universal Health Coverage.
Di Indonesia, falsafah
dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui hak asasi warga
atas kesehatan. Hak ini juga termasuk dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan
diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang
Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap
orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan
sosial.
Untuk mewujudkan komitmen
global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan
jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi
kesehatan perorangan.
Usaha ke arah itu
sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk
jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes
(Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri
sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin
dan tidak mampu,
Pemerintah memberikan
jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih
terfragmentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit
terkendali.
Untuk mengatasi hal
itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi
seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Undang-Undang No. 24
Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh
BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang
implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain:
Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI);
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan
JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).
Mendukung pelaksanaan
tersebut, Kementerian Kesehatan memberikan prioritas kepada jaminan kesehatan
dalam reformasi kesehatan. Kementerian Kesehatan tengah mengupayakan suatu
regulasi berupa Peraturan Menteri, yang akan menjadi payung hukum untuk
mengatur antara lain pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan tingkat pertama,
dan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Peraturan Menteri juga akan
mengatur jenis dan plafon harga alat bantu kesehatan dan pelayanan obat dan
bahan medis habis pakai untuk Peserta Jaminan Kesehatan Nasional.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana mekanisme kerja
dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan?
2.
Apa dampak yang akan
dirasakan oleh masyarakat jika Universal Health Coverage tidak tercapai secara
optimal?
3.
Mengapa dalam Jamkesmas dan
Jamkesda biaya kesehatan dan mutu pelayanannya menjadi sulit terkendali?
1.3 Tujuan Penulisan Masalah
1.
Bagaimana Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) menjadi tolak ukur bagi masyarakat dalam memenuhi kesehatan dan
kesejahtraan setiap individu agar supaya tidak lagi menjadi wacana tapi sudah
menjadi realitas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Mekanisme Jaminan Kesehatan Sosial.
1. Pengertian Asuransi Kesehatan
Sosial (Jaminan Kesehatan Nasional-JKN)
Sebelum membahas
pengertian asuransi kesehatan sosial, beberapa pengertian yang patut diketahui
terkait dengan asuransi tersebut adalah:
•
Asuransi
sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan kepada
peserta atas risiko sosial ekonomi yang menimpa mereka dan atau anggota
keluarganya (UU SJSN No.40 tahun 2004).
•
Sistem
Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program Jaminan Sosial
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan.
•
Jaminan
Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Dengan
demikian, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan
Sosial Nasiona ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial
yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua
penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak.
Kelebihan
sistem asuransi sosial di
banding kan dengan asuransi komersial
antara lain:
Asuransi Sosial
|
Asuransi Komersial
|
1.1.
Kepesertaan bersifat wajib
untuk semua penduduk)**
|
11.1. Kepesertaan bersifat sukarela
|
2.
Non Profit
|
2.
2. Profit
|
3.
Manfaat komprehensif
|
3 3. Manfaat sesuai dengan premi yang
dibayarkan.
|
**
berpotensi mencakup 100% penduduk (universal coverage) dan relatif dapat
menekan peningkatan biaya pelayanan kesehatan.
2. Prinsip-prinsip Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional
mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berikut:
•
Prinsip kegotongroyongan
Gotongroyong sesungguhnya
sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup bermasyarakat dan juga merupakan
salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam SJSN, prinsip gotong royong
berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang
sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat
membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan SJSN bersifat wajib
untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian, melalui prinsip
gotong royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
• Prinsip nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah nirlaba bukan untuk mencari
laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk
memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari
masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di
manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
•
Prinsip keterbukaan,
kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas
Prinsip prinsip manajemen
ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta
dan hasil pengembangannya.
•
Prinsip portabilitas
Prinsip
portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang
berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat
tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Prinsip kepesertaan
bersifat wajib
Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta
sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh
rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan
pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai
dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat
menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat.
• Prinsip dana amanat
Dana yang terkumpul dari
iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya
dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut
untuk kesejahteraan peserta.
• Prinsip hasil pengelolaan
Dana Jaminan Sosial
dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk
sebesar-besar kepentingan
peserta.
2.2
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
Nasional
1.
Kepersertaan
Beberapa pengertian:
• Peserta
adalah setiap orang,
termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia,
yang telah membayar Iuran.
• Pekerja
adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
• Pemberi Kerja
adalah
orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan
pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
Peserta tersebut meliputi:
Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN dengan rincian sebagai
berikut:
a)
Peserta PBI Jaminan
Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang
tidak mampu.
b)
Peserta bukan PBI adalah
Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak
mampu yang terdiri atas:
1) Pekerja Penerima Upah dan
anggota keluarganya, yaitu:
a) Pegawai Negeri Sipil;
b) Anggota TNI;
c) Anggota Polri;
d) Pejabat Negara;
e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai
Negeri;
f) Pegawai Swasta;
dan
g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang
menerima Upah.
2) Pekerja Bukan Penerima
Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a) Pekerja di luar
hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan
b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a
yang bukan penerima Upah.
c) Pekerja
sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga negara asing yang
bekerja di Indonesia paling
singkat 6 (enam) bulan.
3) Bukan Pekerja dan anggota
keluarganya terdiri atas:
a) Investor;
b) Pemberi Kerja;
c) Penerima Pensiun;
d)Veteran;
e)Perintis Kemerdekaan; dan
f) Bukan Pekerja
yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e
yang mampu
membayar Iuran.
4) Penerima pensiun terdiri
atas:
a) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti
dengan hak pensiun;
b) Anggota TNI dan
Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
c) Pejabat Negara yang berhenti dengan
hak pensiun;
d) Penerima Pensiun
selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak
pensiun.
Anggota
keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:
a) Istri atau suami yang sah dari
Peserta; dan
b) Anak kandung, anak tiri dan/atau
anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria:
1. tidak atau belum pernah menikah atau
tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan
2.
belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia
25 (duapuluh lima) tahun yang masih
melanjutkan pendidikan formal.
Sedangkan
Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.
5) WNI di Luar Negeri
Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri
diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.
6) Syarat pendaftaran
Syarat pendaftaran akan diatur
kemudian dalam peraturan BPJS.
7) Lokasi
pendaftaran
Pendaftaran Peserta dilakukan di kantor
BPJS terdekat/setempat.
8) Prosedur pendaftaran Peserta
a) Pemerintah mendaftarkan PBI JKN sebagai
Peserta kepada BPJS Kesehatan.
b) Pemberi Kerja mendaftarkan pekerjanya
atau pekerja dapat mendaftarkan
diri sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
c) Bukan pekerja dan
peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai
Peserta kepada BPJS
Kesehatan.
9)
Hak dan kewajiban Peserta
• Setiap Peserta yang
telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak mendapatkan
a) identitas Peserta dan b) manfaat pelayanan kesehatan
di Fasilitas Kesehatan
yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
• Setiap Peserta yang
telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk:
a) membayar iuran dan
b) melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS
Kesehatan
dengan menunjukkan
identitas Peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah kerja.
10) Masa berlaku kepesertaan
a) Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional
berlaku selama yang
bersangkutan
membayar Iuran sesuai dengan kelompok peserta.
b)
Status kepesertaan akan hilang bila Peserta tidak membayar Iuran atau
meninggal dunia.
c) Ketentuan lebih lanjut terhadap hal tersebut
diatas, akan diatur oleh Peraturan BPJS.
11)
Pentahapan kepesertaan
Kepesertaan
Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama mulai
1 Januari 2014, kepesertaannya paling sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan;
Anggota TNI/PNS di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya;
Anggota Polri/PNS di lingkungan Polri dan anggota keluarganya; peserta asuransi
kesehatan PT Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, serta peserta jaminan
pemeliharaan kesehatan Jamsostek dan anggota keluarganya. Selanjutnya tahap
kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan
paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.
2.3 Pembiayaan
1. Iuran
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah
uang yang dibayarkan secara teratur
oleh
Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan
Kesehatan
(pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).
2.
Pembayar Iuran
•
bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
•
bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja
dan Pekerja.
•
bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran
dibayar
•
oleh Peserta yang bersangkutan. Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan
Nasional
• ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang
secara berkala sesuai
•
dengan perkembangan sosial,
ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
3.
Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib
membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk
pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah
dan PBI).
Setiap
Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta
yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan
kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan).
Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada
hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda
administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak
dan dibayar oleh Pemberi Kerja.
Peserta Pekerja Bukan
Penerima Upah dan Peserta
bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang
dibayarkan palinglambat tanggal 10 (sepuluh) setiap
bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS
Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji
atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran,
BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau
Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran.
Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran
Iuran bulan berikutnya.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran iuran diatur dengan Peraturan BPJS
Kesehatan.
4.
Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan
BPJS Kesehatan akan membayar
kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat
lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s.
Mengingat kondisi geografis
Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau dengan mudah. Maka,
jika di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan Kapitasi, BPJS
Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang
lebih berhasil guna.
Semua Fasilitas Kesehatan meskipun
tidak menjalin kerja sama dengan BPJS
Kesehatan wajib melayani pasien dalam
keadaan gawat darurat, setelah keadaan
gawat daruratnya teratasi dan pasien
dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas
kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan akan membayar
kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan
pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.
5.
Pertanggungjawaban BPJS Kesehatan
BPJS
Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan
kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima
lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah
tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri
Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan. Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan.
Dalam JKN,
peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis
berupa akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang
lebih tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti
asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang
dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan
kelas perawatan, yang disebut dengan iur
biaya (additional charge). Ketentuan tersebut tidak
berlaku bagi peserta PBI.
Sebagai
bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya, BPJS Kesehatan wajib
menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan program dan
laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember). Laporan
yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan kepada Presiden dengan
tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya.
Laporan tersebut
dipublikasikan dalam bentuk ringkasan
eksekutif melalui media massa
elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki
peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Untuk mewujudkan
komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung jawab atas
pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) bagi kesehatan perorangan.
Usaha ke arah itu
sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk
jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes
(Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri
sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin
dan tidak mampu,
Pemerintah memberikan
jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih
terfragmentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit
terkendali.
Untuk mengatasi hal
itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi
seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Setiap Peserta wajib
membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk
pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah
dan PBI).
BPJS Kesehatan
menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah
Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS
Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan
atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan
berikutnya.
3.2 Saran
Dalam JKN, peserta dapat
meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa
akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih
tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi
kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin
oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas
perawatan, yang disebut dengan iur biaya
(additional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi
peserta PBI.
DAFTAR PUSTAKA
www.depkes.go.id
www.jkn.kemkes.go.id
Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar